Saturday, October 7, 2017

Random Talks with Kiki Sahib | Awkarin Case "Kuliah x Karir"

Ada sesuatu yang menarik ketika gue hendak menulis obrolan gue dan kak Kiki tempo hari. Sebenarnya banyak topik yang gue dan kak Kiki bahas (maklum ya namanya juga cewek, dari ngomongin cowok, artis, pengalaman, cita-cita terus ujungnya jadi kemana-mana) nah, kenapa akhirnya gue mengangkat judul "kuliah x karir"?

kalian bisa baca dulu case yang gue screen shot dari salah satu akun instagram hate dibawah ini :
  

gue yakin pasti cara kalian merespon case diatas akan beragam, ada yang agree maupun disagree dengan si mbak selebgram yang katanya penghasilan nya 30 juta perhari tersebut.

disclaimer : akun hate tersebut  muncul di bagian explore instagram gue, gue  nggak nge-hate awkarin in anyway, gue pernah follow awkarin waktu gue masih SMA, if i'm not mistaken waktu itu dia masih bergaya "cute but psycho". gue follow dia sampai waktu dia mulai sering bikin vlog dan mini video di youtube which masih pacaran sama Gaga Muhammad. Gue suka cara dia me-manage feeds instagram nya dan menurut gue  dia juga memiliki taste of fashion yang bagus. Meskipun akhirnya gue unfollow dia karna in my opinion, makin kesini she tends to get public attention by controversy. (itu thoughts gue loh boleh setuju boleh enggak)

Jadi, mbak selebgram ini berpendapat bahwa the reasons why orang-orang mengenyam pendidikan saat ini adalah demi gelar dan mencari pekerjaan semata. Ia menganggap dirinya tidak butuh itu karna dia sudah punya huge income dari endorsement dan popularitasnya.

i regret her opinion, alasan paling mendasarnya adalah karna pahlawan pendidikan kita in historical context, udah berjuang mati-matian supaya generasi kita ini bisa bersekolah, menimba ilmu sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya supaya kita bebas dari penjajahan. Mereka sadar, masa depan bangsa ini ada ditangan kita, generasi penerusnya. Terus si mbak ini datang dengan santainya bilang "kuliah di indonesia itu pembodohan, kuliah itu nggak perlu karna goals dari kuliah, which is mendapat penghasilan, sudah bisa saya capai." atau bahkan dengan arogan nya melontarkan pendapat bahwa penghasilan dia jauh lebih besar ketimbang orang-orang yang saat ini punya tittle dan kerja formal.

girl, please.. realistically speaking. lo nggak akan selama nya juga jadi selebgram.
Gue jadi inget motion di National University Debating Championship tingkat nasional yang baru beberapa bulan lalu gue ikuti "TH as Millenial, Would uninstall instagram from our phones"
hehe, cerita sedikit. Gue jadi closing goverment, got fourth rank karna basically harms nya instagram udah dibawa semua sama opening goverment, tentang false expectation dan un-genuine nya kids jaman now yang jadi korban instagram.
waktu minta constructive feed back, (waktu itu chair nya kak Rivan (kalo gak salah))
Dia bilang "lo bisa jelasin, kenapa akhirnya yang jadi korban justru millenial yang merasa selebgram itu sendiri, kenapa? karna mereka trapped into a perceptions, bahwa karir mereka sebagai selebgram dan penghasilan yang mereka dapat sekarang itu sustainable"

nah! melihat case ini gue jadi inget akan hal itu. Kasihan juga sih si mbak selebgram ini, jadi menganggap pekerjaan dia yang sekarang ini memberikan penghasilan yang tetap. Padahal orang-orang bisa unfollow dia kapan aja, bisa lupain nama nya kapan aja, dan awkarin-awkarin lainya yang lebih potential bisa muncul kapan saja.

Dan alasan kedua yang tidak kalah penting adalah, penggemar mbak ini cukup banyak dan rata-rata anak sekolahan, bisa dibayangin dong kalo misal mbak ini berbicara kepada media bahwa kuliah di indonesia semacam pembodohan dan mahasiswa yang dia katakan "exceptions" hanya 1%
bagaimana nantinya adik-adik kita akan perceived  pendidikan?
bagaiman jika suatu saat mereka menolak berkuliah dan bilang ke orang  tua mereka untuk jadi selebgram aja?
mau dibawa kemana Indonesia raya kalau generasi muda nya sudah menolak untuk menjadi terdidik?

Menariknya, how Awkarin perceived education, pernah juga dialami oleh gadis cantik lulusan UPN Veteran Yogyakarta jurusan Hubungan Internasional, yang kini berprofesi sebagai model dan make up artist. Sebut saja Kiki.
(kalian bisa lihat-lihat portofolionya di instagram @kikisahib @kikisahibmua )
kalau diceritain dari awal gimana bisa kenal dan akrab sama kak Kiki, nanti kalian ngantuk baca blog post kali ini. So langsung aja
Jadi,, pertemuan kita tempo hari adalah karna kak Kiki sedang dalam proses menulis tulisan yang nantinya akan di post di blog pribadinya, ia butuh sumber supaya tulisan nya objektif.
And i'm so excited that i was the one who is choosen to be interviewed.
Setelah selesai interview kita ngobrol banyak seputar kuliah dan pengalaman kak Kiki selepas wisuda.
"dulu tuh ri, aku nggak pernah ada fikiran untuk kuliah!" seru nya.
"aku bilang sama papa dan mamaku kalau aku maunya ikut sanggar atau kursus apa aja yang jadi hobi aku, dulu kan lagi senang-senangnya nge-dance tuh ya, nah aku tuh maunya nari aja"

sempat kaget juga sih "serius ka? terus gimana respon orang tua kakak?" tanyaku, soalnya kalo aku bilang gitu ke orang tuaku yang ada aku di jodohin terus disuruh nikah.

"iya ri, terus papaku jelasin begini"

"sekarang begini ya, mama dan papa nggak akan ada selamanya untuk kamu, meskipun ada saudara, kamu yakin mau ngerepotin kakak dan saudaramu nantinya? Kamu tidak bisa mengandalkan hanya skill yang kamu miliki, sekarang S1 itu penting, mana tahu nanti jaman kamu S2 lebih penting. Kuliah itu yang dilihat proses nya, kamu nggak cuma belajar ilmu-ilmu yang berkaitan sama jurusan mu aja, kamu akan melihat lingkungan yang lebih luas dan bertemu berbagai macam orang"

"nah akhirnya dari situ aku setuju untuk kuliah, sayangnya aku nggak pernah dapat jurusan yang ku pingin, aku kan pingin banget ambil sastra inggris tuh, yaudah karna denger-denger HI juga ada unsur bahasa inggrisnya dan lebih luas ya tentang politik bisnis dan yah namanya juga HI kan, relasi dengan luar negeri. Jadi deh aku ambil HI. Bisa dibilang aku juga ngasal ngambil jurusan HI"

Gue setuju banget sama nasihat dari ayah nya Kak Kiki, dunia akan semakin dinamis kedepan nya dan satu satunya yang bisa kita lakukan adalah keluar dari zona nyaman, hebatnya Kak Kiki, meskipun seringkali merasa salah jurusan dan asal pilih, tapi dia bisa survive bahkan lulus cumlaude!

Kalau soal  mahasiswa exceptions , gue dan ka Kiki juga kemarin sempat membahas soal ini
yang dimaksud Karin sebagain exceptions adalah mahasiswa yang tidak biasa-biasa.
Mungkin dia belum pernah melihat orang-orang yang bisa berbisnis sambil mengejar gelar sarjana, yang sudah meniti karir meskipun masih berstatus mahasiswa.
justru lingkungan perkuliahan adalah lahan baru bagi mahsiswa mahasiswa exceptions tadi, untuk memperbanyak relasi dan pengalaman, sebagai yang juga berkarir sambil bersekolah
gue dan kak Kiki setuju bahwa hobi bisa dijadikan sampingan, menekuni keduanya bukan hal mudah tapi bukan juga tidak mungkin kalau berjalan beriringan.
jadi bukan berarti karir menghambat sekolah dan sekolah menghambat karir itu  sendiri, bukan berarti juga orientasi seseorang bersekolah adalah sekedar bisa bekerja kantoran, bukan.
it's much more than that.
we're chasing tittle for prestige? exactly, karna dengan itu kita tidak bisa diremehkan,
dengan itu kita bisa meyakinkan seseorang pada first impression bahwa kita master dibidang yang kita offer, tapi bukan berarti sebatas itu saja. gelar sarjana menurut kami juga bentuk dari tanggung jawab.
Ka Kiki bilang, bisa aja sampai di jogja kita nggak kuliah semestinya, bisa saja ia memfokuskan diri hanya dibidang yang ia ingini : makeup,  tapi pendidikan adalah tanggung jawab terhadap orang tua yang sudah membesarkan kita, dan pasti ingin anaknya punya derajat yang tinggi
dan dari situlah menurut ku pula derajat yang tinggi cuma bisa didapat dengan menimba ilmu
dan mengamalkan ilmu tersebut.

Mungkin ada juga yang mau berkarir dulu baru kuliah karna issues yang dihadapi orang berbeda-beda dan menurut gue itu sah-sah aja, fitrah manusia adalah untuk terus berusaha sambil berdoa, selama ada intention untuk mengembangkan diri dan selalu belajar mau sekolah dulu baru karir, sebaliknya, atau berbarengan keduanya, yang penting adalah kemauan dari dalam diri.
it's an irony kalau karna merasa sudah bisa cari uang terus merasa tidak butuh ilmu, atau hanya berorientasi sama ilmu aja tapi nggak diamalkan, padahal sebaik-baiknya ilmu adalah yang bermanfaat untuk banyak orang.

parameter sukses bisa berbeda-beda in each persons.
Gitasav merasa sukses adalah ketika kita bisa bermanfaat untuk orang banyak, dan kak Kiki berpendapat sukses adalah ketika kita mendapat apresiasi dari orang lain.
ada juga pasti yang bilang sukses kalau sudah setajir artis hollywood, maupun punya jabatan tinggi.

Menurutku, sukses adalah ketika kita bisa membantu orang lain
mendefinisikan sukses versi mereka sendiri.

Jadi kalau menurut kalian sendiri gimana?

Wednesday, October 4, 2017

Random Talks | 'Beauty Standards'

my english writing is not so good, i'm sucks at grammar, but i think some of the times i need to write something in english just to make myself get use to it, so let's try.

here's my thought on how i see nowadays's women.

I'm a debater, and the terms Feminism never been something new to talk about,
we've heard a lot about every single things regarding feminism,
and from what i've  seen in social media, most of the people are well educated to understand why feminism was there, and plenty of them are aware about this issue as well. even tho there's also some of conservative groups in society who disagree with feminism.
I don't think that i need to explain about feminism's historical context, cause we're all understand how worthless a women and how horrible the discrimination towards the women is back then.
Yet we're all also agree that they've undergone several phase to be recognize by the society, to eradicate the beauty standards which has been set by the patriarchist, and to have the freedom of choice, the freedom to determine their own future.

Well, here's the funny thing.
I've seen by myself, that the beauty standard is not something that's set by the partriarchist anymore, it such an irony that nowadays the beauty standard it self is set by the women who call them self as feminist.
Women today's aren't genuinely proud of being them self, the rise of beauty products, and plastic surgeries prove to us that those things are highly demands, people are happened to perceived  women as an object, as a market place by put an iconic, insanely pretty girl as the measurement of beauty. And get worsten by the rise of internet, and social media as well. In contradiction that they supposed to be the platform to promote and uphold this movement

Us, Women. unconsciously trying to meet those standarization only because we want to buy society's compliment.
just because out there, skin care commercial shows us a model with fair skin then society perceived that  the definition of beauty, determine by your skin tone.
This also shown by the phenomena of body goals, where women trying  to shape their body, even be as skinniest as possible, then walk with their brows done. And those who meet the criterias will be the "fairest of them all"
In oftentimes is see woman do body shamming towards the other woman whether they  are trying to be them self or change the shape of their lips, doing nose jobs etc.
by saying "you are a horrible bitch looks pretty just because of the nose job"
or "go to  hell, my ass looks even better than your face"
or even "let  me buy you some cosmetics so your face would not ruin my instagram timeline"
how cruel was that?
You'll always gonna be wrong in the perspective of society.

Some of you may say that it's okay for those girls to have their brows done, to have a plastic surgery, etc. because it's their rights to do what ever they want to  their bodies, and faces.

But try to ask your self a questions, when you bought a skin care  are you really buy those products because of you need them, or because of you want to look just like the pretty models or even just because your friend looks good on it?

as well as wearing make up, i do wear makeup some of the times, i love to see my self on makeup. but i'm regretting those who feels like  they aren't  pretty enough without make up, then they relay on make up to covering up their flaws, i'm regretting those who feels insecure if someone out there sees them without their make up on.
Yet i'm also regretting those prejudices that says, there's a girl who only look pretty because of they good at make up.

My boyfriend ever told me this :
"make up should not be something to covering up your flaws, but something to raise your inner beauty, or to show the excess part of your face" and i'm kinda agree with him.

So, you girls need to understand that your self is not something to be ashamed of
you may not a beauty queen but you're beautiful you (just like what selena said in her songs right? haha)
you need to take a look on you purposes when buying a beauty / aesthetic product, make sure that you are buying and using them because of you want to be grateful for what you've got, for what god has given to you, so you want to take care of them as much as possible

If you want others to respect and appreciate you, you need to firstly love your self.
You don't need to compare your self to other, you doesn't always have to meet others expectation,
when you feel comfortable with no makeup then don't wear them
if you feel comfortable with make up then  go wear them
life is as simple as that, no need to think about other's prejudices.
you don't need to be kylie and kendall Jenner  to be pretty.
You just need to  be you.

Don't follow the beauty standards, create your own.







Tuesday, October 3, 2017

Random Talks with Yudho | 'Multi-talent'

It's been a little while since the last time i'm writing in my blog,  well.. let's start with hi.
hi! it's really great to be back, september was really hectic yet exciting.
and finally after all, gue ada kesempatan untuk menulis lagi di blog.

apparently gue akan lebih sering  menulis obrolan random gue  dengan orang-orang entah itu Yudho, teman-teman bahkan supir grab atau orang yang tidak pernah gue kenal sebelumnya
since di semester ini gue nggak ada kesempatan untuk jalan-jalan dan menulis sesuatu yang menarik
untuk dishare ke kalian.
despite the facts that tingkat ke-mager-an gue untuk keluar dari area condong catur is overrated.
jadi menurut gue supervising ke tempat para pengrajin sudah terhitung sebagai jalan-jalan bagi gue,
ada sih waktu untuk berlibur.. ke pantai atau ke hutan gitu misalnya, tapi gue merasa mulai mengenali diri gue sendiri, gue tidak bisa memaksakan diri gue untuk pergi liburan yang menguras banyak energi, jadi yah.. gue sama Yudho biasanya hanya pergi ke mall untuk cuci mata, makan siang atau makan malam bersama (ini udah jadi rutinitas sih kayaknya) dan mengunjungi festival kuliner di Yogyakarta. (kita biasa menyebut ini energy saving mode )

Moreover, kita berdua udah ada di penghujung tahun perkuliahan, kita udah semester lima sekarang,
which menurut gue semester lima dan enam itu kayak masuk ke dalam stage permainan taken yang aura nya horor dan kita harus siap-siap bertempur lawan 'devil jin'. Dan kalo nggak mengatur strategi dan jurus-jurus bisa K.O

Mata kuliah di semester ini mostly ada unsur ilmiah nya, berbau penelitian dan project.
Disitulah challenging nya. Bukan cuma kognitif yang diuji tapi juga dari sisi emosional lo, semua orang akan mulai jadi idealis dan self-oriented. Mungkin nggak semua, but most of them.

Nah, jujur aja
gue itu bukan tipikal orang yang suka menjalani rutinitas yang gitu-gitu aja,
gue tidak setertarik itu dengan teori-teori dan ceramah dosen.
disclaimer : gue tetap mengutamakan kuliah meskipun gue tidak menjadi mahasiswa yang dominan di kelas dan perpus, hehe.
gue suka sesuatu yang dinamis, gue suka pergi keluar bertemu orang-orang baru. Sementara dikampus, gue terbilang lebih fokus sama hal-hal non-akademis,
gue lebih fokus sama lomba-lomba debat bahasa inggris, jadi MC di acara-acara kampus, pergi ikut event promosi kampus, mencoba-coba peruntungan di bisnis baru, dan kadang gue justru disibukan sama freelance yang sekarang ini gue jalani.
Meskipun some of the times gue ngeluh-ngeluh capek karna susahnya bagi waktu (Yudho pasti bosen denger ini) gue tidak merasa studi gue terhambat, apalagi terbengkalai, satu dua nilai yang kurang selalu masih bisa diperbaiki, meskipun gue bukan tergolong mahasiswa yang "Rajin dan Pintar"
tapi gue masih bisa catch up sama mata kuliah gue.

tapi masalahnya adalah...
tidak tergolong mahasiswa yang "rajin dan pintar" terkadang membuat kita merasa tersudut (entah itu cuma prejudice gue yang nggak pernah puas terhadap diri sendiri atau memang kenyataan nya begitu).
Gue jurusan information systems di kampus, even though gue konsentrasi di perancangan film animasi 2D, gue nggak akan bisa lepas dari apps builder, codes, and all those shitty things in regards to my major.
Selalu ada saat-saat gue merasa salah jurusan dan meremehkan diri sendiri.
mungkin gue bisa dikatakan perfectionist, dulu gue selalu kepingin bisa semuanya dan mungkin nafsu ingin master dalam segala hal masih ada sampai sekarang. i never get enough of myself, or even tho for just being grateful of being me (yeah, this  is bad i know.. jangan ditiru).

Believe it or not, gue dulu pernah ikut silat, ikut literature club, ikut grup musikalisasi puisi, basket, ikut english club, modern dance, ikut grup vokal dan coba rekaman sama temen-temen gue (this is so stupid, cause i was just realizing that i totally am having a bad voice)
bukan cuma karna gue mau tau apa sebenarnya yang gue minati tapi juga karna gue merasa terintimidasi melihat orang yang lain bisa sedangkan gue nggak.

balik lagi ke kondisi dimana dikelas gue bukan termasuk kedalam kategori mahasiswa yang menonjol di major gue, disitu gue merasa ada burden ketika  teman-teman sekelas gue bisa keep up very well sama coding-an. Sedangkan gue harus mencerna pelan-pelan apa yang dikatakan modul, dan kalau program nya dimodifikasi sedikit gue kelabakan.
"bagus dong kalo ngeliat orang bisa dan ke-triggered jadi pingin bisa?"
iya bagus, tapi masalahnya when you have tried so hard to understand something and mastering it but fail, then whose to blame?
dari semester satu gue mencoba memahami algoritma dan struktural coding-coding tersebut tapi kenyataanya mungkin gue tidak diciptakan untuk itu.

gue tidak pintar di akademik, gue tidak pernah mencapai parameter Pintar-nya orang orang
yang menganggap bahwa ukuran jenius adalah eksakta dan matematika, i'm a slow runner in certain things, se-termotivasi apapun gue, seberapapun gue berusaha melewati limitation gue, gue tetap tidak bisa mengejar orang-orang yang mindsetnya demikian.
Alasan paling logis kenapa kita selalu memaksakan diri sendiri to meet everyone expectation adalah karna kita tidak ingin diremehkan.

terus Yudho tanya
"papamu punya karyawan nggak? menurutmu kenapa dia ngehire karyawan? akuntan and so so"
"menurutmu kenapa presiden punya mentri?"

terus gue jawab "ya buat bagi-bagi tugas lah"

"kenapasih, fikiranmu itu practical banget"

"ya terus apa? memang itukan alasan nya??"

"sebelum kesitu kamu harus paham, kalau orang-orang yang di hire presiden, orang-orang yang di hire papamu adalah orang-orang yang expert dalam bidangnya, bagian finance pasti kualifikasinya sekolah mastering akutansi bertahun-tahun. Meskipun papamu bisa ngurus keuangan juga, apa iya papamu sanggup ngurusin perusahaan sendiri? apa iya presiden mau ngurus negara sendiri?
semulti-talenta apapun individuals rin, mereka tetap butuh orang lain yang expert di bidangnya, nggak semua orang bisa master disemuanya, kalaupun ada itupun langka"

Terus mulai terbersit bahwa sebenarnya keinginan gue untuk menguasai segala bidang adalah karna tuntutan dari gengsi gue sendiri yang setinggi burj khalifa.

"kamu mastering bidang art dan design, tenang aja rin nggak semua orang bisa, dokter umum nggak akan berani memberi solusi yang memang harus diberikan dokter spesialis, semua ada batasnya, semakin kamu mendalami suatu ilmu itu makin bagus, kalopun kamu mau cross ke coding tapi nggak bisa yaudah jangan dipaksakan, berarti tempatmu memang bukan disitu, aku 19 tahun belajar main gitar, nyanyi, menggambar tapi masih aja aku nggak bisa.
Karna apa? kita diciptakan bukan untuk master dalam semua hal. Bagus kalau kamu master pada bidang mu, nggak perlu kamu ikutin semuanya sekedar untuk dapat pujian orang"

Dan dari situlah gue sadar, i don't have to follow people's standards, pintar itu  relatif,
semua orang seharusnya tau dan berdiri di posisi masing-masing
Allah ciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna, tapi bukan berarti kesempurnaan itu diartikan sebagai kita harus bisa segalanya,

di Indonesia, sistem pendidikan streaming kita untuk bisa semuanya, kalau diluar negeri ada talent recognition, untuk mengetahui anak ini akan mastering bidang apa dan dimana minatnya
tapi disini, monyet dituntut untuk bisa terbang, burung bisa berenang dan ikan bisa memanjat.

dengan melihat flaws di diri sendiri bukan berarti kita harus minder, bukan menyerah tapi bukan juga kemudian jadi ambisius then trying to meet others expectations,
you need to find a thing then finding out how that thing can carry you on to your dreams.

nggak melulu engineer sukses dan seniman itu suram,
semua hal, bahkan sekedar main game pun kalau kita put effort dan mastering disitu
bisa jadi ladang rezeki kok.

jadi sekarang, untuk mahasiswa-mahasiswa yang struggle dan merasa salah jurusan
jalani dan tekuni aja, ilmu nggak pernah sia-sia apalagi membawa kerugian

semoga bermanfaat, sampai jumpa di #randomtalks selanjutnya







Search This Blog